BANDUNG NEWS – Keputusan Presiden Republik Indonesia (RI) No. 44 tahun 1984 mengawali munculnya peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli setiap tahunnya.
Presiden Soeharto, saat itu, menginginkan anak-anak bangsa yang akan mewariskan kepemimpinan mampu menjadi generasi tangguh, beradab dan cerdas.
Sudah 38 tahun berlalu sejak pertama kali ditetapkan Hari Anak Nasional, apakah cita-cita tersebut sudah tercapai? Apakah artinya menjadi seorang anak hari ini?
Mengutip dari Pedoman Hari Anak Nasional tahun 2022, rupanya tahun ini peringatan Hari Anak Nasional mengusung tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju.” Tema ini menyimpan asumsi bahwa selama ini banyak anak yang tidak terlindungi – bahkan menerima perlakuan tidak adil, kekerasan fisik dan psikis, rasisme, dll.
Saya masih mengingat sebuah berita yang diterbitkan Kompas pada 10 Juli 2022, dikabarkan seorang anak berusia 11 tahun di Kabupaten Sukabumi mengalami pelecehan seksual dari ayah kandungnya sendiri.
Fenomena tersebut menjadi bukti bahwa tujuan mulia dari peringatan Hari Anak Nasional masih jauh dari harapan. Ini hanya satu kasus dari sekian banyak kejadian memilukan terkait kekerasan dan pelecehan terhadap anak.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melaporkan, ada 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang Januari 2022. Sudah kurang lebih tujuh bulan sejak Januari, saya khawatir jumlahnya terus bertambah hingga hari ini.
Adakah Jalan Keluar?
Barangkali hari ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk merenungkan persoalan ini dan mencari jalan keluar agar anak-anak, yang dicita-citakan sejak penetapan Hari Anak Nasional, bisa terwujud.
Dalam catatan singkat ini, setidaknya ada dua poin yang bisa jadi bahan diskusi dan solusi.
Pertama, dalam kasus kekerasan pada anak – baik berupa fisik atau psikis – selalu terlihat seorang anak tidak berdaya dan mudah diperlakukan apa pun oleh orang dewasa.
Maka dalam hal ini, menurut saya, pendidikan di sekolah menjadi garda terdepan untuk membantu dalam mencegah kekerasan – atau paling tidak meminimalisir potensi terjadinya kekerasan. Yakni dengan memberikan anak pengetahuan mengenai cara melindungi diri.
Misalnya, kasih pemahaman pada anak bahwa tidak boleh siapa pun dapat menyentuh bagian tubuhnya secara tidak wajar. Jika terjadi hal itu, ingatkan anak untuk lari atau berteriak sekeras mungkin.
Di sisi lain, untuk dapat memberi pemahaman yang komprehensif kepada anak mengenai cara melindungi diri, dibutuhkan satu mata pelajaran yang masuk dalam kurikulum pendidikan.
Kedua, kekerasan pada anak merupakan tindakan kejahatan yang secara khusus telah diatur dalam Pasal 80 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Jika terjadi fenomena kekerasan pada anak, harus segera melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib. Tidak peduli siapa yang melakukan kekerasan, baik itu sanak keluarga atau teman, itu merupakan bentuk kejahatan.
Dua poin tersebut semestinya bisa direalisasikan jika semua pihak sama-sama menyadari bahwa anak-anak membutuhkan perlindungan. Anak-anak merupakan tunas kepemimpinan masa depan yang sedang tumbuh. Masa depan Indonesia bergantung pada kualitas anak-anak hari ini.
Oleh: Eko Surya Effendi
(Kolumnis Bandung News ID)